BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 27 Juni 2011

Sahabatku, Semanis Rujak

Sahabatku, Semanis Rujak

Aku suka dia!!! Entah kalimat itu berulang kali aku katakan dalam hati. Seperti sebelumnya aku mengaguminya. Sungguh. Aku jadi sering tersenyum sendiri, tertawa tidak jelas membayangkan sosoknya, suami masa depanku. Hummm. “ Ara!! Udah ngerjain tugas sociolinguistics belum?? Aku pinjem dong!!”, teriakan Nina membuyarkan lamunanku. Cuaca sedang bersahabat denganku hari ini. Hujan deras tanpa angin dengan udara cukup sejuk di kota Semarang yang terkenal panas ini. Aku sedang menikmati suasana seperti ini. Sedang tidak ingin diganggu dengan tugas kuliah atapun tanggungjawab kegiatan kampus lainnya. Apalagi dengar ocehan Nina, teman satu kostku. “Ra!” kamu ngapain sih?”, Nina membuka pintu kamar kostku. Sedikit sebal aku beranjak dari tempat tidur. Pemandangan kamar kostku memang sungguh memprihatinkan. Meja belajar penuh dengan kertas-kertas dan pensil warna. Entah kapan aku jadi suka menggambar. Laptop di bawah ranjang pun dari tadi memutar lagu yang sama, “The Shape of My Heart by Back Street Boys” lagu lawas, tapi aku suka. “Ya ampun, ini kamar kayak kapal pecah aja ya?”, Nina mulai berkomentar. Aku tinggal mayun saja. Sebal!! “Ada apa sih Na, ganggu aja”. Aku berjalan ke kamar mandi, cuci muka. Ternyata dari tadi pagi aku belum cuci muka dan gosok gigi. Jorok memang, aku menjadi gila. Nina mengamati tingkahku yang sedikit aneh belakangan ini. “Ra, kamu kenapa sih? Sikapamu kelihatan aneh belakangan ini”, Nina memegang jidatku. “Ih, apaan sih Na. Emang aku gila apa?”. Hari-hari berikutnya di kampus aku mulai jarang melihatnya. Rindu sekali rasanya. Dan aku sungguh mengaguminya. Bukan sosok pemuda yang tampan memang, mungkin bila dibandingkan dengan pemuda yang dulu pernah dekat denganku sangat jauh berbeda. Bahkan teman seangkatanku dulu pernah mengira bahwa dia adalah seorang bapak-bapak yang sedang jemput anaknya. Oh my gosh!!! Segitu tuakah dia?? Memang sih tampangnya sedikit tua. Tapi bukankah itu yang membuatku kagum dan tergila-gila padanya. Udara dingin menyeruak dari luar jendela, mengajakku untuk kembali menarik selimut tebal menutupi seluruh bagian tubuh. Mataku kembali terpejam dan mendengkur. Bunyi alarm seolah tak berdaya memanggilku untuk sekedar mematikannya. Aku benar-benar terlelap. “Ara!!!!!” Teriakan khas Nina sedikit terdengar, tapi aku berniat melanjutkan mimpi. Pikirku karena hari ini kelasku masuk siang. Lalu terdengar bunyi pintu diketuk lagi dengan keras. Dengan sebal dan malas aku mulai mengumpulkan nyawa untuk membuka pintu kamar. Dan “Ara!!! Gila kamu jam segini masih molor aja. Hari ini kita ada kuis dadakan. Masuk jam 08.00, tadi si Yudi telpon aku dan bla bla bla”, Nina mulai menyerocos. Aku melangkahkan kaki menuju tempat tidur bersiap terlelap dan Nina dengan gemasnya mencubit lenganku. Aku terbangun dan meringis kesakitan. Sambil mengelus bagian lengan yang sakit, aku beranjak ke kamar mandi. “Ara!!! Dibilangin ih gak percaya. kamu mau dapet nilai D lagi??” “Kamu kata siapa sih Na, orang tadi aku barusan juga disms Wita, katanya hari ini kelasnya bu Rida kosong. Yah kamunya sih kagak percaya”, aku mengusap wajah dengan handuk. Hari ini terpaksa aku tidak mandi. Nanggung sekali. Lumayan menghemat air. Nina menepuk bahuku. “Ra, bangun dong!!! Sadar!! Ini hari apa? Kelasnya Bu Rida tuh besok”. Nina sepertinya semangat sekali. Dia memang selalu semangat di hari Rabu. Pak Hasan dosen yang menurutku paling nggak banget. Dosen muda yang tampan yang sok galak dan jayus. Kurang ngerti juga kenapa Nina selalu semangat diajar Pak Hasan. Mataku membelalak. Kaget dan tiba-tiba ingat sesuatu. “Nin, ini hari Rabu ya?”, tanyaku. Baru ingat, ternyata hari ini juga ada debat calon ketua BEM dan pastinya senior itu datang.”Bang Achan Oh Bang Achan, hiii”, hatiku riang gembira. Dengan semangat aku memilih baju yang bagus dan dandan secantik mungkin, bukan menor. Nina terheran-heran dengan tingkahku yang tiba-tiba bersemangat. Dia berlalu pergi, mungkin dandan juga kan mau bertemu pak Hasan. Ups!! “Kamu aneh!!!”, Nina mencibir dan berlalu pergi. Aku masih tersenyum-senyum gak jelas. Hari ini untuk pertama kalinya aku bakalan ketemu dengan sang pujaan hati. Ups!! Bukan pacar juga. Hatiku riang bukan kepalang. Seolah menemukan semangat baru. Namanya Ahsan Arrizal. Pemuda sederhana yang berwibawa serta berkharismatik, itu menurutku. Dia angkatan tua, 4 tahun diatasku dan sekarang sedang sibuk menyelesaikan skripsinya. Bang Ical, biasa aku menyebutnya. Terkadang sesuka hatiku memanggilnya bang Acan, entah aku menjadi sok imut begini. Pertama kali bertemu dengannya sama sekali tidak memiliki perasaan lebih. Bagiku tak ada cinta pada pandangan pertama, semuanya butuh proses. Aku melangkah riang, disampingnya Nina masih terheran-heran dengan tingkahnya. “Nin, kamu sadar gak? Bau parfummu nyengat banget. Norak ih”. Aku hanya tersenyum. Nina mencibir sebal. Perasaanku hari ini sungguh tak tergambarkan. Senang bukan kepalang. Aku masih saja tersenyum sendiri sepanjang perjalanan ke kampus. Cinta memang bikin gila. Mungkin begitu. Tapi aku bukannya gila, hanya saja sedang terlalu berlebihan saja menikmati virus merah jambu ini. Hari itu kelas Pak Hasan, aku melaluinya dengan mulus. Dosen paling killer seantero jurusan Sastra Inggris itu memang suka membuat mahasiswanya kalang kabut. Kuis dadakan atau presentasi ke depan kelas tanpa tahu topik dan persiapan sebelumnya. Tetapi kali ini aku bisa mengerjakan kuis dengan lancar, padahal malam sebelumnya sama sekali tidak belajar. Ajaib!! Seolah mendapat energi baru. “Nin, coba deh cubit aku”. Nina mencubit lenganku dengan keras, praktis aku meringis kesakitan. Aku masih saja seolah tak percaya. “Jangan keras-keras dong nyubitnya, sakit tau”. Cubitan Nina membekas merah di lenganku. Masih meringis, aku mengusap lenganku dan sambil tersenyum “Diiih, tadi bilangny suruh cubit, gimana sih? Kami sedang berteduh di bawah pohon trembesi. Sejuk. Dan pandanganku tetap tak berubah. Ke pintu Aula. Sedangkan Nina sedari tadi tersenyum gak jelas. Intinya kita sama-sama gak jelas. Angin sepoi-sepoi seperti sedang menina bobokanku. Aku berkali-kali menguap, tetapi mataku tetap tertuju pada pintu aula itu. Tepat pukul 10.00 teeettt, acara debat kandidat Ketua BEM Fakultas dimulai. Aku berharap-harap cemas menanti kedatangannya. Nina sibuk dengan laptopnya, sedangkan pandanganku tetap saja tak lepas dari pintu Aula kampus dimana acara itu berlangsung. Berharap dia datang. Hatiku berdebar-debar. Sungguh. “Nin, ke Aula yuk. Nonton debat calon ketua BEM”, pintaku. Aku menjadi penasaran begini. Jantungku benar-benar berdegup tak karuan. Khawatir dia tak datang kali ini. Padahal dia siapa juga, tapi aku begitu cemas. “Ngapain kesana, nggak ah malas. “Nin, ayolaaaah”, aku mulai merengek. Nina sama sekali tak bergeming denganku. Aku menarik lengannya. “Niiiiinnnn, ayo dong. Kesana yuuukk”, pintaku merayu sambil tetap menarik-narik lengan Nina. Melihat tingkahku yang semakin tidak jelas, akhirnya Nina menyerah. Aku dan Nina berjalan menuju Aula. Jantungku berdegup kencang. “Aku bakal ketemu dia? YES!!!”, hatiku riang. Melewati beberapa kelas, jalanku seolah terasa pelan. Ketika hampir sampai di pintu Aula, pandanganku tertuju pada satu sosok. DIA!!! Ternyata benar, dia baru saja tiba di kampus. Dia melihatku dan aku juga melihatnya. Kami saling berpandangan sesaat lalu sama-sama saling menunduk. Malu. Nina tak sadar kalau aku sedang salah tingkah. Langkah pemuda itu tegap dan kemudian masuk ke Aula. Senyum manisnya tersungging dibibirnya. Hatiku serasa meleleh. Oh God, whata day!!! Tiba-tiba aku memutuskan untuk tidak menyaksikan debat itu. Pastinya aku bakalan grogi berhadapan dengan bang Achan. Aku menarik tangan Nina. “Nin, kita pulang aja yuk”, bisikku. Selama ini entah, aku mulai jarang cerita ke Nina tentang masalahku. Aku terlalu menikmati rasa suka ini sendiri. Mungkin saja aku bertahan, tapi mungkin juga pertahananku tak sekokoh dulu. Yak, aku takut kalau rasa suka ini malah menjadikan aku ’sakit’. ‘sakit’ yang menyebabkan otakku tidak berpikir rasional. Ternyata jatuh cinta seperti ini. Oh God!! “Nin, aku gak mau sakit gini deh”, kataku di sore hari. Kami sedang asyik menyantap rujak serut di bawah pohon mangga belakang kos. Diantara penghuni kos yang lain, aku memang paling dekat sama Nina. Selain kuliah di jurusan yang sama serta kelas yang sama pula, Nina menurutku adalah teman yang pandai membesarkan hati sahabatnya. Aku melirik Nina yang kepedasan. Mukanya semakin konyol. Aku tersenyum. Nina terheran-heran. “Kenapa gitu? Kamu sakit?”. Aku menggeleng pelan. Hatiku terasa campur aduk. Ingat mama, papa dan adek-adekku yang masih kecil. Tiba-tiba rindu sama mereka. Aku menggeser tempat duduk. “Kamu tahu kenapa akhir-akhir ini tingkahku aneh?”. Nina masih menikmati sensasi pedas di mulutnya. Sedangkan pandanganku nanar jauh kesana dan enggan menyaptap rujak itu. “Aku tahu kamu aneh dan aku pun tahu kamu sedang jatuh cinta. Iya kan? Ngaku deh”, Nina menggodaku. Aku tersenyum melihat tingkah Nina. Dia seolah memilki ribuan cara untuk menghiburku. Padahal masalah yang aku hadapi saat ini tak serumit yang dibayangkan. Maslah hati yang sepele. “Aku jatuh cinta sama bang Achan”, aku memulai pembicaraan sekaligus pengakuan. Kelihatannya Nina tak begitu kaget dengan pengakuanku barusan. Dia masih saja asyik menyaptap rujak itu. “Ih, kok kamu nggak kaget gitu sih Na?”. Aku malah yang terheran dengan sikap Nina. “Ara, ingat deh kemarin tingkahmu tuh mencurigakan. Kenapa mendadak gitu jadi pingin nonton debat calon ketua BEM segala? Itu bukan kamu banget Ara”, Nina menepuk pundakku pelan. “Apa yang spesial dari bang Achan? Dia tua? Apa karena dia mantan ketua BEM Fakultas?”, selidik Nina. Aku masih saja tetap diam. Bingung mau jawab apa. Bagiku sendiri bang Achan adalah sosok yang mengagumkan. Sulit diuraikan. “Ara, diem aja sih. Kunaon euy??”, bahasa Sunda Nina keluar juga. Aku melipat kedua tangan didepan dada. Mengambil nafas panjang, aku mulai bicara. “Sejujurnya aku kurang ngerti juga kenapa aku tiba-tiba suka sama bang Achan. Padahal aku juga tahu dia sudah punya pacar. Mbak Melly, anak Hukum yang populer itu”. “Nah gitu tahu. Trus kenapa masih tetap suka?”. Aku menggeleng. “Biarkan waktu yang menjawab”. Nina memelukku hangat. Siang itu kami sedang makan siang di kantin kampus. “Plaaakkk!!!” terdengar kericuhan di pojok kantin. Aku melihat wanita cantik berpakaian kemeja merah marun bercelana jeans skinny dengan rambut hitam panjang tergerai sedang menampar laki-laki didepannya. Mataku membelalak, terkaget dengan situasi yang ada. “What?? Itu kan bang Achan!!”, pekikku. Orang-orang di kantin kini mulai memperhatikan mereka. Nina mengajakku keluar kantin, tapi aku menolaknya. Masih ingin tetap melihat akhir dari scene drama realita itu. Penasaran. Bang Achan yang aku kagumi akhir-akhir ini ternyata tidak lebih dari laki-laki pembual. Entah kenapa hatiku sedikit lega. Paling nggak rasa sukaku sedikit berkurang. Pertengkaran itupun dimulai. Bang Achan terlihat sedang mengendalikan sang wanita. Terlihat sekali emosi wanita itu membuncah dan akhirnya menangis. Tak ingin dipermalukan dengan situasi yang ada, bang Achan membawanya keluar kantin. Aku masih memperhatikan mereka hingga hilang di tikungan jalan kampus. Airmataku tiba-tiba keluar. Aku berusaha mengahapusnya. Aku menunduk dan Nina memberikan tisu untukku. “Airmatanya dihapus dulu Ara”. Dia menggenggam ujung jemariku. Menghiburku. Aku sendiri pun tak tahu kenapa tiba-tiba saja airmataku menetes. Disuatu jalan menuju kost. “Na, terima kasih telah menjadi sahabat yang sabar untukku. Bagiku sahabat sepertimu terlalu mahal untukku dilupakan”. Mataku merah berkaca-kaca. “Ih nangis lagi, malu atuh dilihat banyak orang”. Kami berpelukan erat dan airmata pun menetes. Airmata bahagia. Rasa sukaku ke bang Achan telah tergantikan dengan kebahagian memiliki sahabat seperti Nina. Pelukanku semakin erat. “Uhibbuki Fillah Nina”, ucapku lirih